Sumber: Republika
"Angie menang, Angie juara Wimbledon.'' Sorak tanda kegembiraan itu bergema di rumah yang terletak di jalan Dago 90 Bandung. Minggu malam (8/7) juli itu keluarga Rico Widjaja (60) dan Hanita Erwin (49) memang berkumpul mengikuti pertandingan si bungsu Angelique Widjaja (17) di lapangan tenis Wimbledon.
Rico bersama kelima anak laki-laki mereka yang bersorak tatkala bungsunya mengakhiri pergerakan skor pertandingan final junior tunggal putri Wimbledon 2001 lewat internet. Bisa jadi juga menjadi sorak dan kebanggaan orang Indonesia untuk kembali menemukan kepercayaan diri di tengah keterpurukan.
Mengalahkan petenis Rusia, Dinara Safina, 6-4, 0-6 dan 7-5, gadis kelahiran Bandung pada 12 Desember 1984 itu menjadi petenis Asia pertama yang meraih gelar tunggal putri junior di arena grand slam tertua di dunia ini. ''Saya bangga sekali, surprised rasanya. Target saya sebenarnya cuma sampai seperempat final, enggak nyangka,'' tutur Angie yang sekarang menduduki peringkat tiga dunia junior ini.
Dengan prestasi terbarunya ini, Angie dianggap mampu untuk bergabung membela tim Piala Federasi menghadapi tim kuat Austria --yang menjadi tuan rumah--, di babak kualifikasi dunia, pada 21-22 Juli 2001 dan Sea Games XXI/2201 di Kuala Lumpur, September 2001 nanti. ''Saya bangga bisa ikut membela negara,'' katanya.
Meski mengukir prestasi di panggung tenis dunia, Angie yang usianya belum genap 17 tahun ini tak mengubah celotehan dan gaya renyah khas ABG. ''Nggak ada yang berubah pada diri saya, sama saja,'' tukas gadis yang mengaku masih lengket dengan Maminya itu.
Kepada wartawan Republika Nur Haryanto, Ratu Ratna Damayani dan fotografer Darmawan, Angie memaparkan pengalamannya menjadi juara di pertandingan tenis paling bergensi, obsesi karir tenisnya dan orang-orang yang berperan dalam perjalanan prestasinya. Berikut petikannya:
Tanya: Jika dibandingkan Susi Susanti ketika kali pertama merebut medali emas olimpiade, penyambutan untuk Anda biasa-biasa saja. Anda merasa dianaktirikan?Jawab: Sebenarnya saya kemarin tahu juga kalau mau disambut. Tapi saya tidak tahu penyambutan bagaimana. Bagi saya,(penyambutan-red) sudah cukup meriah. Kemarin juga sudah membuat saya bangga. Saya tidak merasa dibedakan, Rasanya udah gila banget (sambutan wartawan-red), sampai pusing.
Sampai saat ini, belum ada kabar pemerintah akan memberikan bonus untuk Anda. Padahal, bagi atlet-atlet yang berprestasi tingkat dunia biasanya pemerintah langsung mengumumkan bonus.
Bagaimana perasaan Anda?Enggak apa-apa. Enggak ada pengaruhnya buat saya. Bantuan yang saya harapkan tak hanya dana doang, tapi juga dukungan dan doa. Itu lebih penting buat saya.
Selain kedua orangtua siapa figur paling berpengaruh, atau berjasa, terhadap peningkatan karier Anda?Pelatih dan kakak-kakak saya serta teman-teman. Meiske Wiguna yang sejak kecil telah mengenalkan tenis dan juga Deddy Tedjamukti sebagai pelatih saya.
Lebih spesifiknya, sekali lagi di luar kedua orangtua Anda, siapa figur yang memberi saran, nasehat, atau pertimbangan, sebelum Anda memutuskan terjun ke pro?Selain Papi dan Mama saya tentunya pelatih saya Deddy dan Meiske. Kan mereka yang lebih tahu tentang tenis.Ketika memutuskan terjun ke pro, Anda tentu sudah tahu semua konsekuensinya. Anda harus meninggalkan sekolah, dan lingkungan pergaulan selama ini.
Anda merasa sudah siap meninggalkan semua itu?Saya siap aja dan saya sudah tahu itu. Itu memang sudah menjadi konsekuensinya. Saya siap dan ingin membanggakan kedua orang tua saya terutama setelah Papi sakit (jantung-red). Waktu ikut Wimbledon ini kan saya meninggalkan ujian. Ini juga masih diurus di sekolah untuk bisa ikut ujian lagi.
Saya harus siap untuk konsentrasi masuk dunia tenis pro selama dua atau tiga tahun ini. Kalau gagal mungkin saya akan sekolah. Tapi, untuk saat ini saya akan coba dulu ke tenis.
Bagaimana kemampuan bahasa Inggris Anda? Bukankah mulai kini Anda harus bergaul dengan banyak petenis dari berbagai bangsa, dan menghadapi wartawan asing?Memang saya akui bahasa asing saya belum jago, tetapi dengan pengalaman terus-menerus mengikuti turnamen di luar negeri, saat ini sudah lumayan berani. Setelah pertandingan final di Wimbledon kan ada banyak wartawan yang mewawancarai saya secara bergantian, kalau saya nggak ngerti ya saya suruh pelan-pelan ngomongnya.
Olahragawan pro kita dinilai banyak pihak tidak memiliki kemampuan 'mengentertain' diri. Padahal sebagai public figur kemampuan itu amat diperlukan.
Anda sudah belajar mengenai hal ini?
Saya siap menjadi orang terkenal setelah menjuarai Wimbleldon. Ya, saya siap saja, saya akan berusaha melakukan yang terbaik. Saya sudah harus mulai menghadapi orang, mulai belajar. Orangtua saya sudah memperingatkan enggak boleh sombong dan tetap sopan dengan siapapun.
Berapa hadiah yang telah Anda kumpulkan?
Mami yang tahu. Saya enggak pernah hitung. Tabungan saya juga enggak dari tenis saja.
Menurut Anda, apa arti gelar juara tunggal putri junior Wimbledon ini? Apakah ini akan berdampak banyak bagi perkembangan tenis di Indonesia?
Saya kira kemenangan saya di junior Wimbledon ini sebagai awal karir saya. Ini kian meyakinkan perjalanan saya untuk selanjutnya masuk dunia tenis yang akan saya tekuni. Ya, supaya pemain-pemain junior lainnya juga percaya bisa menjuarai turnamen besar ini. Dan tidak hanya didominasi oleh petenis-petenis dari negara lain saja.Di WTA, peringkat Anda masih tergolong rendah.
Anda punya target tertentu untuk memperbaiki peringkat? Atau Anda mungkin punya obsesi menyamai atau melampaui prestasi Yayuk Basuki, atau petenis Asia lainnya?
Saya punya target kedepan untuk masuk top ten senior. Saya ingin mencoba dalam tiga tahun ini untuk masuk top seratus dunia. Kalau bisa saya ingin nembus 20 besar dunia di senior. Itu saya jangkau kalau bisa pada umur 20-21 tahun lah. Saya akan terus berusaha saja dan terus ikut banyak turnamen WTA. Untuk masa depan, saya akan banyak main di senior. Tapi, saya enggak menyetop main di yunior begitu saja. Sementara saya masih bermain di junior, saya akan mulai tahun depan untuk main di grand slam US Open. Dan selanjutnya akan lebih banyak di senior.
Orangtua Anda banyak membiayai sendiri berbagai tur pertandingan yang Anda ikuti. Lantas bagaimana biaya rencana tur-tur yang akan Anda ikuti setelah ini?
Sampai Papi dan Mami masih mampu membiayai saya. Tapi, kalau di senior kan ada hadiah uangnya, sehingga mungkin bisa tertutupi. Selama ini kalau bertanding saya diberi uang sekitar 1500 dolar AS kalau bertanding di Asia dan 2000 dolar AS kalau ke Eropa. Tapi, nggak tentu juga. Kurang lebih seratus dolar AS dalam satu minggu. Dan selama ini saya kira cukup.
Sebenarnya nggak banyak juga, karena kalau junior itu semua sudah ditanggung, seperti hotel dan makan. Paling uang itu saya gunakan untuk belanja ke supermarket atau pasang senar. Biaya paling banyak untuk pasangan raket kalau senarnya putus. Karena satu raket saja kalau pasang senar bisa menghabiskan 200 ribu rupiah per biji. Kalau di grand slam kan mahal biaya pasang senarnya. Saya pernah pasang senar sepuluh raket bisa mencapai satu juta rupiah.
Kembali ke turnamen Wimbledon. Sampai melaju ke babak final, Anda sama sekali tidak menyita perhatian wartawan. Buktinya, tidak ada foto pertandingan di situs resmi Wimbledon?
Mungkin ada, karena mungkin hanya ada empat petenis dari Asia termasuk saya waktu itu. Dan saya juga tidak pernah diunggulkan saat bertanding (meski dalam drawing unggulan kedelapan). Waktu melawan Dinara Safina, semua penonton kebanyakan mendukung dia, karena dia juga adik petenis terkenal Marat Safin.
Apakah Anda merasa ada diperlakukan berbeda?
Saya kira biasa-biasa saja. Memang pemain-pemain Eropa sukanya ngumpul sesama mereka saja. Dan kita dari Asia kan hanya empat orang saja. Wartawan di sana juga baru mulai tertarik mewawancarai setelah memasuki semifinal dan final. Tapi, saya kira itu wajar saja. Saya tidak merasakan dibedakan.
Apa yang Anda lakukan semalam sebelum turun menghadapi Dinara Safina? Anda menghabiskan waktu dengan berdoa, atau berusaha relax?
Sebelum pertandingan biasanya saya mendengarkan lagu-lagu rohani untuk menghilangkan perasaan. Terutama kalau mau bertanding di babak final. Saya menenangkan diri supaya tetap dapat bermain seperti waktu di babak pertama atau kedua. Dan saya berusaha melupakan kalau pertandingan saya telah sampai babak final, supaya tidak tegang.
Anda kehilangan set kedua tanpa meraih satu game pun. Bagaimana itu bisa terjadi?
Pertanyaan ini juga diajukan oleh semua wartawan asing, usai pertandingan. Saya jawab bahwa saya kehilangan konsentrasi di set kedua, dan saat itu saya bermain tidak menyerang tetapi justru bertahan. Sedangkan, Safina justru yang menyerang saya. Karena ketinggalan cukup jauh ya akhirnya saya lepas saja.
Kedua orangtua Anda tentu terus menghubungi Anda untuk memberi dukungan. Selain keduanya, apakah ada orang lain yang begitu istimewa yang juga memotivasi Anda?
Komunikasi jalan terus dengan orangtua. Pokoknya SMS (short message service) setiap saat kalau di luar negeri.
Menurut Ibu Anda, di hari-hari pertama Anda mengeluh karena laju bola cepat dan sulit dikendalikan di lapangan rumput Wimbledon?
Tapi, semakin lama semakin enak. Karena kalau pertandingan, di hari-hari pertama rumputnya masih tebal jadi bola tidak bisa mantul tinggi. Kalau semakin lama-seperti saat pertandingan-pertandingan akhir sampai di final-kan rumputnya sudah mulai gundul, Nah bola bisa mantul tinggi. kita jadi lebih enak mukulnya.
Kesan mendalam lain saat di Wimbledon?
Saat pesta kemenangan pada malam harinya. Saya ikut pesta dengan juara-juara lainnya, salah satunya Venus William. Saya sempat berfoto bersama dan dia baik sekali, Menanyakan umur saya berapa dan meminjamkan pialanya untuk foto. Katanya supaya saya ketularan juara.
Kabarnya Anda juga dapat tawaran dari sekolah-sekolah di Amerika?
Ya, saya mendapat tawaran dari UCLA (University of California, Los Angeles) dan Iowa University untuk sekolah di sana dengan gratis dan bergabung dengan tim tenis sekolah mereka untuk memperkuat tim saat bertanding. Tapi kalau saya penuhi permintaan itu saya tidak bisa terjun di tenis pro. Pilihan saya masih tetap ke tenis pro, mungkin kalau saya tidak berhasil saya akan pertimbangkan lagi permintaan mereka. Selain itu, juga ada tawaran dari agen-agen iklan asing. Tetapi, itu juga masih saya pertimbangkan dan saya serahkan kepada Papi dan Mama.
Pihak sponsor hanya memberikan fasilitas peralatan, atau ikut juga mendanai perjalanan Anda ke berbagai kejuaraan?
Kalau sponsor ya memberikan semua atribut yang saya gunakan, uang juga ada tapi saya tabung. Sponsor cukup membantu, paling tidak sepatu, raket atau pakaian. Sehingga sudah tidak saya pikirkan lagi. Kalau biaya perjalanan Papi saya yang memberikan uangnya.
Venus Williams dikontrak senilai 4 juta dolar AS oleh sebuah sponsor olahraga, bagaimana dengan Anda?
Venus kan sudah menjadi petenis besar dunia, kalau saya kan baru di junior. Saya maklum kalau mungkin kontrak sponsor saya tidak sebesar Venus. Tapi, kalau nilai kontrak sponsor saya tidak tahu, yang ngatur semuanya Papi. Saya tidak ngerti tentang itu.
Karena prestasi, Presiden berkenan mengundang Anda untuk bertemu. Bagaimana perasaanmu?
Bangga sekali, nggak nyangka saya bisa bertemu presiden. Katanya mau ngasih kemudahan untuk tiket pesawat apabila akan tur ke luar negeri. Katanya nanti akan diusahain, ya mungkin perlu tanda tangan Gus Dur, biar mendapat keringanan dari Garuda.
Setelah menang di Wimbledon Anda dimasukkan dalam tim Federasi Cup. Bagaimana perasaanmu.?
Saya bangga karena bertanding di Fed Cup kan membela negara. Dengan prestasi saya saat ini saya merasa bertambah percaya diri.''Feeling bolanya bagus banget,'' demikian Hanita Erwin mengulang komentar pelatih Angie saat mojang itu masih berusia 4,5 tahun. Ibu dari enam anak ini mengaku tak pernah mengarahkan Angie kecil untuk menjadi petenis kelak. ''Dari kecil kayaknya dia sudah suka tenis,'' katanya.
Memang, sejak usia 1,5 tahun Angie sudah biasa diajak ke lapangan tenis menonton ayah dan kakak-kakaknya berlatih. Awalnya, menurut Hanita, Angie dimasukkan ke klub tenis karena sering mengganggu kakak-kakaknya yang sudah lebih dulu masuk klub berlatih tenis. ''Saya masukkan ke kelas paling kecil ya cuma main-main bola saja, asal enggak nggangguin kakak-kakaknya lagi,'' kenangnya.Angie mulai bergabung dengan Klub FIKS Bandung sejak berusia 4,5 tahun dan diasuh pelatih Meiske Handayani Wiguna. Pelatih tenis Deddy Tedjamukti juga menjadi pelatih Angie, yang membinanya dua kali seminggu. Baru setelah berusia tujuh tahun siswa SMA Taruna Bhakti, Bandung, ini mulai ikut turnamen dan selalu menang.
Deretan kemenangan ini yang membuatnya serius menekuni tenis. ''Setelah menang di Wimbledon ini, dia ingin menjadi petenis pro. Saya berharap dia sukses,'' tutur Hanita. Namun, jika gagal ia akan menyekolahkan bungsunya itu ke luar negeri. ''Ya ambil sekolah manajemen atau apa. Tapi, kayaknya manajemen soalnya dia itu pengennya ngatur,'' ungkap Hanita.
Cita-cita Angie menjadi petenis pro mendapat dukungan penuh orangtuanya. ''Selama saya masih mampu membiayai, saya akan tetap mendanai Angie untuk terjun ke tenis pro,'' kata Rico Widjaja, ayahnya. Setelah kemenangan ini, ungkap pengusaha hotel dan tekstil ini, ia menerima email berisi banyak tawaran bagi Angie dari agen sponsor dan sekolah-sekolah di luar negeri.
''Masih kami pertimbangkan. Tapi, sampai saat ini saya masih mampu,'' tuturnya. Rico berharap satu hingga dua tahun ini Angie bisa sukses di gala senior. ''Kalau berhasil silahkan terus, kalau gagal akan saya sekolahkan lagi, sekolah itu tetap penting. Dalam satu hingga dua tahun ini umur Angie juga belum terlalu lewat untuk kembali ke bangku sekolah,'' papar Rico.
Mantan sprinter nasional Purnomo mengatakan Angie masih berada di tengah perjalanan, belum sampai tujuan. ''Seperti berenang dia masih di tengah-tengah, tanggung. Jangan dipuji saja, kita juga harus mendidiknya untuk terus berprestasi. Jangan sampai ia bernasib seperti saya, kebanyakan dipuji,'' papar Purnomo yang kini menekuni profesi sebagai manajer humas produk sepatu olahraga ini. Ia mengatakan sebagai atlet perorangan, Angie tak ringan menghadapi segala tantangan dari sekelilingnya.
Angie sendiri tak memungkiri hidupnya mulai berubah begitu ia menjadi pemenang dunia. ''Saya sudah mulai dianggap public figure. Saya jadi harus lebih hati-hati karena jadi teladan,'' tutur petenis berpostur tinggi 173 cm dan berat 60 kg ini.
''Saya juga sudah mulai sering disamperin wartawan.'' Kendati demikian, gadis yang juga suka berenang ini mengaku tak ada yang berubah pada dirinya.
''Sama saja kok. Yang membuat saya menang ini pertama-tama ya Tuhan,'' sambungnya. ''Setelah itu baru kerja keras, berdisiplin, tanggung jawab dan banyak mengikuti pertandingan.''Angie beranggapan kemenangannya ini baru menjadi awal karirnya sebagai petenis pro. ''Tantangannya berat banget. Banyaknya saingan di dunia itu enggak gampang,'' tandasnya.Kedekatan dan mungkin juga terlahir sebagai anak bungsu, membuat Angie senantiasa berada 'ditengah-tengah' keluarganya.
Hal ini terlihat selama ia menghadiri undangan pemberian penghargaan atau wawancara dengan para wartawan. Maka tak heran, pada sebuah acara jumpa pers dengan perusahaan produk sepatu olahraga, ia hadir bersama seluruh keluarga besarnya; oma, mami, papi, lima orang kakaknya dan sepupunya.
''Saya paling dekat dengan Mami,'' ujarnya polos. Hanita pun mengatakan dengan seringnya bertanding keluar negeri sendirian mudah-mudahan melatih Angie untuk lebih mandiri. ''Biasanya kemana-mana saya selalu mengantarnya. Bahkan, tidur pun sama saya,'' tutur HanitaAngie pun menceritakan pengalamannya yang terpaksa buru-buru pulang ke Tanah Air saat mengikuti tur ke luar negeri karena takut. ''Saat itu aku masih umur 11 tahun, ikut sirkuit yang dibiayai ITF juga, seperti kemarin. Waktu di Belanda kan ikut tinggal di sebuah keluarga dan rumahnya dekat kuburan. Disana ada burung-burung malam gitu, aku takut sekali cuma satu minggu aku bertahan terus pulang,'' tuturnya.Angie juga mengungkapkan, sebenarnya sewaktu menandatangani persetujuan mengikuti sirkuit Wimbledon dua bulan lalu, ia tidak mau. ''Tapi, karena dorongan keluarga dan pelatih, sayang kesempatan ini dilewatkan.
Padahal peraturan ITF tidak boleh diikuti oleh orang tua maupun pelatih. Pertama-tama susah tetapi akhirnya bisa juga,'' kata Anggie.Mengidolakan Martina Hingis dan Lindsay Davenport, Angie merasa tak terbebani atau takut terjadi anti klimaks dengan prestasinya. ''Justru memacu saya supaya enggak di junior saja,'' katanya. Ia bisa mengambil pola-pola bermain kedua jago tenis dunia itu untuk permainan dirinya. ''Hingis itu pintar kalau bermain, tidak terlihat capek, tidak seperti Venus kalau bertanding sepertinya mengeluarkan banyak tenaga. Sedangkan, Davenport itu kata orang-orang mirip saya. Dari cara bermain, pukulan-pukulannya sampai cara berjalannya,'' papar Anggie sambil tersenyum sekaligus menampakan lesung pipitnya.